Jakarta – Semangat pemerintah dalam lima tahun belakangan ini berubah. Salah satunya dilakukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan membenahi pelayanan publik.
Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh menekankan bahwa perubahan itu dimulai dengan mengganti seluruh pola-pola masa lalu dengan pola zaman sekarang. Bisa juga berarti mengganti pola manual dengan kerja-kerja digital.
Dalam dialog dengan Board Forum Q1 2019 Bank Mandiri di Jakarta, Kamis (2/5/2019), Zudan menyampaikan bahwa Ditjen Dukcapil bukan sekadar memberikan layanan administrasi kependudukan. “Lebih dari itu Dukcapil sedang membangun reputasi dan branding baru bagi Indonesia melalui pelayanan publik berbasis pemanfaatan data kependudukan,” ujar Zudan.
Sehingga suatu ketika nanti, kata Prof. Zudan, masyarakat tidak perlu terkejut apabila di bandara tidak perlu lagi menggunakan KTP-el untuk melakukan boarding ke pesawat. Boleh jadi Ditjen Dukcapil akan bekerja sama nanti dengan PT Angkasa Pura, agar penumpang tidak lagi diperiksa dengan KTP elektronik (KTP-el).
“Rasanya malu saat tiba di bandara lantaran perlu verifikasi kartu identitas berulang kali. Ke depan tak seperti itu lagi cukup dengan melotot ke CCTV, kemudian dilakukan face tracking atau face recognition. Masuk pesawat pun akan bisa diketahui siapa saja manifest penumpang lengkap dengan data kependudukannya. Inilah big data yang sedang kita kerjakan,” ujar Zudan menjelaskan.
Ditjen Dukcapil memiliki big data, antara lain sistem data kependudukan yang berbasis Geographic Information System (GIS). Sehingga ketika ingin melakukan penetrasi pasar, dunia usaha khususnya lembaga keuangan dan perbankan bisa memanfaatkan peta GIS yang berbasis wilayah administasi sampai ke tingkat desa.
“Misalnya kita klik wilayah Kalimantan Selatan, langsung keluar datanya. Tidak perlu keperpustakaan, tetapi klik saja https://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/ sudah kita buka untuk umum,” papar Zudan.
Isinya sangat lengkap mulai dari jumlah kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, desa, hingga jumlah penduduk, jumlah KK, berapa yang meninggal, struktur agama, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan status perkawinan, sampai ke golongan darah penduduk di provinsi yang diklik. Bahkan GIS juga bisa dibuka langsung sampai ke tingkat desa.
Prof. Zudan yang sebenarnya masih sakit dan harus istirahat total itu juga menjelaskan perbedaan data kependudukan dengan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS).
Indonesia memiliki dua sumber data besar, tetapi kemudian beralih paradigmanya dari BPS ke Kemendagri untuk database kependudukan. BPS adalah data proyeksi, yaitu data yang diukur berbasiskan teknis dan metode penelitian. Sedangkan data Kemendagri adalah data registrasi lengkap dengan by name by address.
“Inilah data real penduduk yang mendaftarkan dirinya. Data kependudukan ini disusun sesuai dengan yang ada dalam Kartu Keluarga penduduknya. Inilah modal besar big data di Indonesia,” paparnya.
Bagaimana mengukur kepadatan penduduk agar dunia usaha bisa melakukan penetrasi pasar dengan lebih akurat? Data GIS yang dibangun Dukcapil, lagi-lagi yang bisa menjawabnya.
Misalnya seluruh Pulau Kalimantan yang luasnya hampir 4 kali pulau Jawa, total penduduknya hanya 16 juta atau 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Papua hanya berisi 2 persen penduduk, Maluku hanya 1,9 persen.
Inilah kawasan yang penduduknya masih sangat sedikit. Bandingkan dengan jumlah penduduk Pulau Jawa sebesar 147 juta jiwa atau 55 persen dari jumlah 265 juta penduduk Indonesia.
“Jadi kalau perusahaan nasional mau membuka peluang bisnis di Indonesia timur, pendekatannya tentu saja bukan profit semata-mata. Saya atas nama pemerintah mengatakan, buka terus peluang bisnis di Indonesia Timur, bukan untuk mencari profit tetapi lebih jauh lagi kepada pemerataan pembangunan serta untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, bahwa di Timur itu juga bagian dari Indonesia,” tutur Zudan yang disambut tepuk tangan hadirin.
Kerugian bisnis di Timur Indonesia, masih kata Zudan, itu bisa ditutup dengan keuntungan di dua wilayah besar Jawa dan Sumatera. “Beruntung pimpinan cabang di sini rugi-rugi sedikit tidak terlalu dimarahi atasan,” ujarnya berseloroh.
Tak lupa Zudan berpesan bahwa Dukcapil tidak bisa bekerja sendirian untuk mengurus sisik melik data kependudukan. Dibutuhkan peran serta para pemangku kepentingan.
“Sekarang ini program nasional yang digunakan sebagai pengungkit agar Indonesia cepat maju itu namanya program KTP-el. Jumlah seluruh wajib KTP-el adalah 192.676.863 penduduk. Penduduk yang sudah memiliki KTP-el 189.940.052 jiwa atau 98,58 persen. Masih kurang 2.736.811 jiwa atau 1,42 persen lagi,” ujarnya merinci.
Salah satu guna KTP-el itu untuk menunggalkan data kependudukan agar jumlah orangnya tidak lagi beralamat ganda, tidak lagi memiliki alamat lebih dari satu. Sebab pemerintah sudah mencanangkan single identity number, yaitu satu penduduk, satu alamat dan satu identitas.
“Dengan begitu risiko operasional perbankan bisa ditekan, reputasi bank bisa terjaga karena tidak lagi memberi kredit, pinjaman atau asuransi kepada orang yang tidak benar identitasnya atau tidak punya KTP-el,” pungkas Dirjen Zudan Arif Fakrulloh. Dukcapil***